Saya ingat dengan buku yang saya baca dengan judul “Panggilan Kampung Halaman“.
Ada cerita menarik di dalamnya, bagaimana benturan benturan idealisme dan realitas saling menunjuk kebenaran dan juga kesalahan. Jika anda pernah membaca bukunya dengan saksama, ada kisah penuh epik.
Dalam buku tersebut, kita di bawanya pada perjalanan, kisah cinta segitiga sekaligus pilihan pilihan yang sulit. Ia di cintai oleh dua gadis, yang satu gadis dari kampung halamannya, dan yang satunya gadis kota berasal dari golongan elit. lebih dari itu, pada alur perjalanan cerita pemuda tersebut ia diperhadapkan pada dua sisi kehidupan, kota selalu memanjakan matanya dan desa memanggilnya.
Tapi Dengan cinta, ia berkenalan dengan orang-orang penting yg membawa pada kejadian di luar nalar idealismenya, melihat praktik-praktik cuci uang, ambisi menjatuhkan. Lantas dalam lamunannya, ia sedang berfikir “jika sekiranya manusia sudah menjadi serigala semua, apakah mungkin kebaikan masih ada?”
Intinya adalah buku tersebut tidak mengulas cerita fiktif, ia dengan jelas mengilustrasikan di dunia nyata bahwa intelektualitas tidak terdapat pada kefasikan berbicara, tapi partisipasi dalam kehidupan praktis. Maka dari itu di dalam tata kehidupan bermasyarakat dan pemerintahan, ada hukum sebagai landasan dan ada kebijakan sebagai jalannya.
Saya terpesona, dengan sosok lelaki pelajar dalam buku tersebut, sarjana muda penuh dengan harapan untuk masa depan. Sekiranya dengan berlandaskan pada pertarungan idealisme dan realitas tersebut, saya ingin menyoal realitas daerah ini (dalam asumsi saya) melalui perspektif idealisme sebagian orang muda.
Kita ketahui, kadang-kadang struktur dan realitas sosial tidak menjamin itu untuk mengungkapkan “apa yang jadi di dalam hari ini?”. Kalimat pertanyaan ini tentunya masih perlu di cari jawabannya.
“Hari jadi” mengungkapkan segala aktifitas manusia dari yang buruk menuju pada kebaikan untuk membentuk kejadian dan keinginan kita. Sebut saja, saat kita merayakan momen penting dan bernilai dalam hidup kita, di situ ada awal dalam tiap periode, demikian halnya Bolmut pada usianya yang ke 15 ini, tentunya ada keinginan yang tersemat sebagai cita-cita luhur pada awal mula gagasan pemekaran yang terus menjadi spirit hingga detik ini.
Hari ini, kejadian dan keinginan itu harus di lanjutkan. cita-cita masih terus di lakukan persis di mana ketika sebelum dan pada 15 tahun Bolmut dalam perjalanannya hingga mengabadi. Maka, pertanyaan yang patut di lihat dan di telusuri, apa yang jadi dalam periode 15 tahun itu?
Mengapa ia dibentuk?
Kejadian apa yang di harikan?
Saya kira Ada tuntutan di situ yang masih perlu di revisi, di evaluasi serta di tambahkan.
Ada ketabuan disitu, seperti desa tersudut yang menginginkan akses sarana dan prasarana (Goyo, Huntuk, dll), bantuan ekonomi (petani, nelayan, buruh), pendidikan, tetapi kita masih setia hingga kini pada keterjebakan akar sejarah yang masih menemani struktur masyarakat; Maka 15Â tahun itu ada karena kecenderungan itu.
Bagi saya, Otonomi bukan segudang kertas formal atau contoh-contoh kepentingan politik, tapi ia adalah upaya berdiri sendiri untuk mensejahterahkan rakyat berdasar konsensus maslahat, mendewasakan dari segala hal; pemikiran, tindakan dan masih banyak lagi.
Ada sejarah di situ, dan rombakan aturan birokrasi yang harus di laksanakan maka yang harus di perkuat adalah masyarakatnya (civil society). Tentunya masyarakat sipil yang di maksudkan adalah mereka yang menginginkan perbaikan.
Siapa mereka….?
Jika di lihat dari batas sampai batas, ada beragam etnis, organisasi kedaerahan, yang menghasilkan berbagai macam pemikiran dan tindakan. Saya tidak mengatakan bahwa di antara ribuan tindakan itu tidak terlaksana, tapi hanya sebagian terlaksana, sebagian masih menggantung.
Maka dari itu yang menggantung perlu di selesaikan. mungkin kita sudah mengalaminya, saat momen politik bagaimana masyarakat terpisah, keinginan 15 Tahun itu hanya berupa kepentingan.
Bagi mereka yang sudah mengetahui keuntungan nya “masyarakat sipil dianggap bagian dari ladang subur, mereka menggunakan ruang emosi dengan dalil-dalil pembangunan ekonomi, agama, rasial, budaya untuk memancing psikologi masyarakat, argumentasi yang mereka gunakan seringkali memang terdengar ilmiah, entahlah.
Pada usia 15 tahun Bolmut ini, bukan waktu yang singkat bagi sebuah daerah pemekaran, ada perjalanan dan cerita disitu dan otonomi adalah bagian demokrasi daerah yang artinya antara mayoritas dan minoritas mempunyai hak yang sama dan dihitung suaranya. Kita tidak bisa melupakan minoritas yang tersudut hanya karena mereka diam, mereka diam karena teriakan mereka sangat kecil dan tak terdengar oleh elitisme.
Dirgahayu Bolmutku, salam takjim kepada sesiapun mereka para tokoh yang terlibat secara langsung pada proses kelahiran daerah tercinta ini…!!!