Opini

Aktivis Tanpa Pekerjaan: Terlalu Sibuk Mencari Kamera, Bukan Keadilan

178
×

Aktivis Tanpa Pekerjaan: Terlalu Sibuk Mencari Kamera, Bukan Keadilan

Sebarkan artikel ini

Oleh : fahmi
Ada yang bilang, aktivisme sejati lahir dari hati. Tapi belakangan, kita dipaksa menonton tontonan murahan: aktivis yang lebih sibuk mencari kamera daripada kebenaran, lebih doyan tepuk tangan daripada pembelaan. Mereka bukan lagi pembela hak asasi manusia, melainkan penjilat kekuasaan yang lihai bermain peran di atas panggung palsu.

Sebut saja satu nama atau kita biarkan saja inisialnya mengambang di udara, seperti bau busuk yang enggan hilang. Dia selalu muncul di forum-forum penting, duduk paling depan, berbicara panjang lebar seolah punya otoritas moral. Tapi di balik kata-katanya yang penuh api, ada dompet yang terus menganga menelan suap. Uang haram mengalir ke sakunya, entah dari mana, entah untuk apa. Yang jelas, dia tidak bekerja. Tidak punya pekerjaan tetap. Tapi hidupnya nyaman, penuh fasilitas. Maka, dari mana sumbernya?

BACA JUGA  Pengesahan (Perppu) Cipta Kerja menjadi (UU), Nasib Buruh justru makin malang

Jawabannya sederhana: dari kepalsuan. Dari aktivisme yang dijual kepada siapa saja yang mau membayar. Dia menjadi “juru bicara kebenaran” versi bayaran. Hari ini membela korban, besok duduk semeja dengan pelaku. Asal ada amplop, semua bisa diatur. Inilah aktivisme zaman sekarang transaksional, oportunistik, dan penuh kebusukan.

Lebih menyedihkan lagi, ada sisi kelam yang selalu dibungkus rapi: sisi serong. Di ruang publik, dia tampil suci. Tapi di balik layar, kisah asmara gelapnya berseliweran seperti gosip murahan yang sayangnya… benar. Beberapa orang sudah tahu, beberapa masih pura-pura tak tahu. Tapi apa boleh buat, kebusukan yang disimpan terlalu lama, akhirnya akan tercium juga.

Orang semacam ini merusak kredibilitas perjuangan. Membuat rakyat muak. Membuat para korban sungguhan kehilangan tempat berpijak. Sebab suara mereka kini dibajak oleh seorang badut bermulut besar yang hanya tahu teriak tanpa makna.

BACA JUGA  DEMOKRASI VS HAK ASASI

Tapi jangan salah. Dia pandai bermain peran. Saat dikritik, dia akan pasang tameng: “Ini upaya pembunuhan karakter!” Padahal, karakter yang dibunuh itu bukan dibunuh orang lain, tapi dia sendiri yang menguburnya, perlahan, sambil tersenyum.

Kita butuh aktivis sejati. Bukan penjual moral. Bukan penggoda amplop. Bukan pelakon serong yang sembunyi di balik spanduk.

Dan jika Opini ini membuat dia gelisah, maka satu hal sudah pasti: kebenaran memang tak nyaman bagi mereka yang hidup dalam kebohongan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page