Oleh : Safitri A. Sangaji
Dikutip dari (kumparan.com), DPR RI resmi mengesahkan Perppu Cipta Kerja Nomor 2 Tahun 2022 menjadi UU pada Selasa 21 Maret. Persetujuan itu diambil dalam rapat yang dipimpin Ketua DPR (Puan Maharani). Perppu itu merupakan pengganti UU Ciptaker yang dinilai inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Salah satu bahasan pokok dari isi (UU Ciptaker) adalah terkait upah minimum. Sebagaimana aturan terbaru yang dijelaskan dalam pasal (88 D) Perppu No 2 Tahun 2022 yang sudah disahkan menjadi UU Ciptaker, bahwa upah minimum buruh dalam 5 tahun terakhir ini menggunakan variabel inflasi, pertumbuhan ekonomi dan indeks tertentu.
Namun aturan tersebut masih menimbulkan banyak kontra dari pihak-pihak tertentu. Salah satunya (Said Iqbal) Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), yang menilai variabel ini menimbulkan ketidakpastian baik Inflasi, pertumbuhan ekonomi dan indeks tertentu ini apakah sebagai pengurang, pertambahan, pengalih atau pembagi dalam penetapan upah.
Di sisi lain terdapat persoalan baru yang diubah dalam pasal 64 UU Ciptaker tentang tenaga kerja alih daya atau outsourcing, yang jelas – jelas merugikan para buruh. Dampaknya adalah kemungkinan hanya jenis-jenis pekerjaan tertentu saja yang boleh diisi tenaga alih daya.
Wajar saja hal ini terjadi karena sistem yang berkuasa saat ini adalah system kapitalisme. Dimana orientasi sistem kapitalisme adalah meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Begitu pun dengan aturan yang ditetapkan hanya berasaskan kemauan manusia saja, terutama bagi penguasa dan pemilik modal. Seperti halnya yang terjadi hari ini, disaat rakyat menolak pengesahan perppu ciptaker, tapi pemerintah tetap saja melegalkannya menjadi undang – undang.
Sementara itu dalam sistem keupahan saat ini distandarkan pada hidup minimum tempat mereka bekerja. Dalam sistem kapitalisme, seberapa keras pun mereka bekerja tetap saja tidak mendapatkan upah yang sesuai dengan pekerjaannya. Karena standar gaji buruh ibukota terlihat lebih besar jika dibandingkan dengan daerah. Namun tidak sedikit para buruh tidak bisa mencukupi kebutuhan mereka karena terhalang dengan biaya hidup yang tinggi. Pada akhirnya buruh lagi-lagi menjadi pihak yang paling dirugikan.
Berbeda halnya dengan pengaturan masalah upah gaji buruh dalam bingkai sistem Islam yakni Khilafah Islamiyah. Landasan yang diambil dalam setiap kehidupan masyarakat maupun Negara adalah berdasarkan hukum syariat Islam. Islam mampu mengatur hubungan pemilik kerja dan pekerja (buruh) dengan solusi jituh yang tidak mendzolimi buruh, tetapi justru membawa kemaslahatan diantara dua belah pihak.
Dalam Islam, pengaturan hubungan majikan dengan buruh termasuk dalam akad/kesepakatan atau suatu jasa dengan imbalan atau kompensasi tertentu yang disebut (ijaroh). Ijaroh hukumnya adalah mubah yang tentunya dibolehkan oleh syariat islam. Sejatinya Islam mengatur antara majikan dan pekerja/buruh wajib terikat dengan ketentuan akad ijaroh. Yakni sejak awal majikan wajib menjelaskan kepada calon pekerja/buruh mereka tentang jenis pekerjaannya, waktu kerja serta besaran upah dan hak – hak mereka.
Sedangkan pekerja/bruh wajib memberikan jasa sebagaimana yang telah disepakati bersama dengan majikannya. Mereka tidak boleh saling mendzalimi satu sama lain, misalnya pekerja merusak properti yang dimiliki majikan dan tidak bekerja sesuai dengan kesepakatan dan sejenisnya. Begitu pun dengan majikan tidak boleh mengulu-ulur waktu pemberian upah dan memberikan beban pekerjaan diluar kesepakatan dengan pekerja/buruh.
Adapun terdapat hadits Nabi yang menjelaskan terkait pembagian upah, Rasulullah SAW bersabda “Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum keringatnya kering” (HR. Ibnu Majah). Hadits ini menunjukan jangka waktu seorang majikan wajib membayar upah buruh jika telah selesai pekerjaannya.
Sementara pemenuhan upah dalam sistem Islam tidak ditentukan dari standar hidup minimum disuatu daerah sebagaimana sistem kapitalisme. Sebaliknya dalam islam besaran upah harus disesuaikan dengan besaran jasa yang diberikan pekerja. Karena itu seorang pekerja yang professional di bidangnya akan mendapatkan upah yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerjaan pemula.
Adapun jenis pekerjaan yang boleh di-ijarohkan adalah semua jasa yang halal dalam Islam. Misalnya jasa dalam industry makanan, garment, otomotif, konsultan, pendidikan dan lain sebagainya. Sebaliknya jasa yang haram dan terlarang untuk di-ijarahkan yaitu jasa pembuatan miras, jasa pengangkutan miras, jasa pembuatan kemasan miras, riba dan jasa yang berhubungan dengan muamalah ribawi seperti menjadi pegawai perbankan, jasa perantara suap-menyuap dan sebagainya.
Karena itu (buruh/pekerja) hanya akan mendapatkan haknya secara adil dalam sistem khilafah islamiyyah. lapangan pekerjaan akan terbuka luas serta islam memberikan standar yang adil dalam penentuan upah. Sementara majikan juga akan mendapatkan keuntungan dan jasa yang diberikan para buruh kepada mereka.
Wallahualam Bisshowab …